Powered By Blogger

definisi & esensi dari pacaran

KATA PENGANTAR

Puji Syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat kasih dan rahmatNya serta penyertaanNya, tugas ini dapat diselesaikan dengan baik. Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada para guru SMKN JATIROGO atas dukungannya baik moril maupun spiritual. sehingga tugas pembelajaran ini terselesaikan demi peningkatan kualitas Pendidikan.
Makalah ini disusun sebagai sarana untuk lebih mendalami dan lebih mengetahui latar belakang Pacaran. Di dalam penulisan tugas ini masih banyak terdapat kekurangan. Oleh karena itu saran dan kritik yang membangun dari semua pihak sangatlah penting demi perbaikan penulisan selanjutnya.
Untuk semua pihak yang turut membantu dalam memberikan bimbingan serta bantuan dari penyusunan sampai terselesaikannya makalah ini, kami mengucapkan banyak terima kasih kepada :
- Dra. Hj. Sri Minarti, M.Pd , selaku Pembimbing, yang telah banyak memberikan arahan serta masukan yang sangat bermanfaat bagi penulis, dengan penuh perhatian dan kesabaran.
- Kedua Orang Tua kami, yang selalu memberikan doa serta motivasi yang sangat penting bagi penulis sehingga tugas ini selesai tepat pada waktunya.
- Teman-temanku di SMKN JATIROGO , terima kasih atas segala supportnya.
Akhirnya penulis berharap semoga penyusunan laporan bermanfaat bagi kita semua, khususya bagi pihak yang memerlukan.

Tuban, 28 Desember 2010


DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
1.2. Batasan Masalah
1.3. Rumusan Masalah
BAB II PEMBAHASAN
2.1. Definisi Dan Esensi Dari Pacaran .......................................................
2.2. Inti Pembahasan Masalah ..........
Lampiran
BAB III PENUTUP
3.1. Penutup











BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Istilah pacaran memang sudah tidak asing lagi di telinga kita. Sudah banyak orang yang mengangkat topik ini untuk dikaji, dibahas, dan diteliti. Namun topik ini selalu menarik untuk diangkat karena melekat dalam kehidupan kita sehari-hari terutama bagi remaja.
Makalah ini disusun atas dasar kondisi psikis penulis sendiri yang sedang mengalami kebimbangan dalam mengambil sebuah keputusan yang nantinya akan menjadi prinsip dan pedoman hidup. Penulis sedang mengalami sebuah masa dimana seseorang itu mencari tahu siapa dirinya dan apa yang semestinya dilakukan dan tidak dilakukan dengan kata lain penulis sedang mencari jati diri. Masalah pacaran merupakan masalah yang kontemporer dikalangan pemuda saat ini. Sebuah tindakan yang wajar sebagai wujud dari perasaan suka kepada lawan jenis namun kebanyakan menjadi ajang pelampiasan nafsu yang berakibat buruk bagi para pelakunya.
Sebagai seorang remaja yang sebentar lagi menginjak usia dewasa tentu sudah pernah merasakan getaran-getaran cinta. Seuatu perasaan suka kepada lawan jenis yang diekspresikan melalui berbagai macam cara. Suatu perasaaan yang bergejolak di dalam hati terhadap seseorang yang menimbulkan rasa ingin memperhatikan dan diperhatikan, rasa ingin tahu lebih, rasa malu, rasa cemburu, rasa curiga dsb semua rasa bercampur menjadi satu kadang suka, kadang sedih, kadang berani, kadang takut untuk melakukan sesuatu hal yang berhubungan denganya. Rasa ini yang bisa mengubah seseorang baik dari segi perspektif, tingkah laku, tutur kata, gaya berbusana dll bergantung pada dengan siapa dan bagaimana orang disekitarnya mempengaruhi untuk berlaku apa yang semestinya dia lakukan menurut pandangan mereka.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia , Pacar adalah kekasih atau teman lawan jenis yang tetap dan mempunyai hubungan berdasarkan cinta kasih. Pacar diartikan sebagai orang yang spesial dalam hati selain orangtua, keluarga dan sahabat kita. Melihat fenomena yang terjadi saat ini, seringkali makna pacaran disalahgunakan sebagai ajang pelampiasan nafsu, ajang pertunjukan rasa gengsi, ajang popularitas, ajang meraup keuntungan pribadi dll. Sedangkan esensial dari pacaran tersebut memudar. Dimana kita saling mengenal satu sama lain, saling mengerti dan dimengerti, saling cinta dan saling setia.
Penulis hanya meneliti Mahasiswa Islam Sosiologi karena peneliti sendiri seorang muslim. Dalam Islam sudah diatur bagaimana cara bergaul dan berhubungan dengan lawan jenis. Maka dari itu penulis ingin mengetahui apakah Mahasiswa Islam Sosiologi menggunakan aturan tersebut ataupun tidak.
Dengan demikian penulis perlu mengambil tema pacaran untuk mengetahui sejauh mana Mahasiswa Islam Sosiologi FISIP UNS memaknai istilah pacaran. Apakah mereka setuju dengan pacaran ataupun tidak dengan alasan masing-masing yang melatarbelakanginya.


1.2. Batasan Masalah
Dalam penelitian ini permasalahan penulis batasi yakni Mahasiswa Islam Sosiologi FISIP UNS angkatan 2007, 2008, 2009 dengan mengambil sampel tiap angkatan 4 orang (masing-masing 2 orang laki-laki dan 2 orang perempuan).
1.3. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka dapat dikembangkan permasalahan pokok yang diteliti dalam makalah ini yaitu:
1. Apa definisi pacaran menurut mereka?
2. Bagaimana perbandingan antara yang setuju dengan yang tidak setuju dengan pacaran?
3. Bagaimana cara mereka berpacaran dan apa yang dilakukan mereka saat pacaran?
4. Apa latar belakang mereka berpacaran?
5. Apa hal positif dan negatif yang mereka rasakan saat berpacaran?
6. Apa alasan bagi siswa-siswi yang tidak setuju dengan dengan pacaran?
BAB II
PEMBAHASAN
1. Definisi Dan Esensi Dari Pacaran
Definisi yang dibakukan di buku KBBI, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi Ketiga), pacar adalah kekasih atau teman lawan jenis yang tetap dan mempunyai hubungan berdasarkan cinta-kasih. Berpacaran adalah bercintaan; [atau] berkasih-kasihan [dengan sang pacar]. Memacari adalah mengencani; [atau] menjadikan dia sebagai pacar.” “Sementara kencan sendiri menurut kamus tersebut adalah berjanji untuk saling bertemu di suatu tempat dengan waktu yang telah ditetapkan bersama.”
Jika definisi-definisi baku tersebut kita satukan, maka rumusannya bisa terbaca dengan sangat jelas sebagai berikut: Pacaran adalah bercintaan atau berkasih-kasihan (antara lain dengan saling bertemu di suatu tempat pada waktu yang telah ditetapkan bersama) dengan kekasih atau teman lain-jenis yang tetap (yang hubungannya berdasarkan cinta-kasih). Singkatnya, pacaran adalah bercintaan dengan kekasih-tetap.
Dengan demikian, pacaran yang aktivitasnya “lebih dari” bercintaan, misalnya ditambahi aktivitas baku-syahwat, itu pun masih dapat disebut ‘pacaran’ Sedangkan, pada dua orang yang baru saling mengungkapkan cinta telah ada aktivitas bercintaan, tetapi belum ada hubungan yang ‘tetap’, sehingga belum tergolong pacaran.
Hubungan yang ‘tetap’ itu dapat tercipta dengan ikatan janji atau komitmen untuk menjalin kebersamaan berdasarkan cinta-kasih. Kebersamaan yang disepakati itu bisa berwujud apa saja. Dengan demikian, yang tidak diniatkan untuk nikah masih bisa dinyatakan pacaran. Bahkan, ‘hidup bersama tanpa nikah’ pun bisa disebut ‘pacaran’.
KBBI sebagai sarana awal untuk membantu kita memahami sebuah istilah indonesia, tentu adalah suatu usaha yang baik. Tetapi ketika kita ingin berbicara lebih jauh mengenai istilah itu, maka kembalikanlah definisi istilah itu kepada para ahlinya. Sebagaimana yang juga sering digembar-gemborkan oleh SPPI untuk “merujuk kepada ahlinya”. Jika istilah2 itu digunakan untuk mewakili sebuah fenomena alam, maka para ahli ilmu alam lah rujukannnya. Jika istilah2 yang dimaksud adalah untuk mewakili sebuah fenomena sosial/fenomena kejiwaan, maka para ahli sosiologi atau psikologi yang bisa menjawabnya. Dan jika ada kata2 dalam definisi tersebut yang mesti diperjelas, maka wajib untuk dijelaskan. Misalkan pada “bercintaan” yang seperti apakah yang mungkin halal, dan pada “kekasih tetap” yang bagaimanakah yang disebut halal. Karena didalam Islam jelas, perkara “bercintaan” dan “kekasih tetap” yang dihukumi “halal” itu hanya terjadi, jika telah diawali dengan sebuah proses yang disebut dengan “Pernikahan”.
Jadi, kita tidak hendak menyalahkan “arti” yang telah dijelaskan oleh KBBI dalam hal ini, tetapi justru, dengan merujuk kepada ahlinya bertujuan untuk memperkuat maksud, dan memperjelas duduk perkara yang tercantum didalam KBBI. Dan siapapun yang mencari kebenaran, tentu tidak perlu takut terhadap proses (mengembalikan pengertian kepada para ahli) ini, apalagi bagi seorang SPPI yang “katanya” siap dengan kritikan dsbnya.
Kembali ke.. topik, istilah “pacaran” itu sendiri menurut para ahli mungkin dalam pembahasaannya ada sedikit perbedaan. Tetapi tidak dalam konteks dan realita. Karena setidaknya ada tiga hal yang pasti, bahwa pacaran itu ‘mensyaratkan’ adanya “cinta”, “keintiman” dan “pengakuan masing2 lawan jenis itu sebagai pacar”. Mungkin pada “kadar” cinta dan keintiman, masing2 orang boleh jadi berbeda, tetapi masalah “pengakuan masing2 lawan jenis itu sebagai pacar” adalah perkara mutlak yang tidak terbantahkan lagi sebagai prasyarat suatu hubungan disebut “pacaran”. Hal ini sesungguhnya tidak terlalu sulit untuk dipahami. Bahkan jika kita mau jujur, bertanya kepada mereka yang “aktifis” pacaran, sebelum ada kejelasan “status sebagai pacar” maka hubungan yang terjalin antara 2 insan lain jenis itu belum diakui sebagai “Pacaran”. Mungkin ada yang menyebutnya “TTM” atau “HTS” atau “sahabatan”, tetapi tidak “berpacaran”. Terhadap “catatan” yang dibuat oleh SPPI atas definisi yang menjadi rujukan kami, kami pun mencatat beberapa beberapa hal atas “catatan” SPPI tersebut. Terhadap poin
“1) Gerhana matahari merupakan fenomena alam; pacaran merupakan fenomena sosial. Kedua fenomena ini memiliki sifat yang sangat berbeda, sehingga tidak bisa dianalogikan.”
1. Tidak ada yang hendak menyamakan “gerhana matahari” dan “pacaran”. Bahwa kedua hal ini memiliki kesamaan, itu fakta. Kesamaan itu terletak pada fakta bahwa kedua hal ini mewakili sebuah “fenomena”, hal inilah yang mesti kita pahami terlebih dahulu. Dan untuk mengetahui “fenomena” apa yang terjadi pada “gerhana matahari” atau “pacaran”, maka kita kembalikan kepada definisi yang dibuat oleh para ahli, agar kemudian asumsi-asumsi subjektif bisa kita hindari. Jika fenomena itu adalah fenomena alam maka rujukannya kepada ahli alam (fisikawan, ahli astronomi dsbnya). Dan jika fenomena itu adalah fenomena kejiwaan, atau masyarakat, tentu lebih tepat jika kita merujuknya ke ahli psikologi, atau ahli astronomi, dan seterusnya. Sehingga statement SPPI diatas tidak bisa kita terima.
“2) Berbeda dengan ilmu eksakta, setiap pakar ilmu non-eksakta (psikologi, sosiologi, dsb) memiliki definisi sendiri-sendiri mengenai istilah kunci yang dikemukakan di karya tulis masing-masing. Definisi sang pakar itu berlaku pada karya tulis yang menyebutkan definisi tersebut, tetapi TIDAK berlaku untuk karya tulis lain, apalagi yang ditulis oleh pakar lain.”
2. SPPI hendak mengajak kita kepada sebuah kondisi yang “relative”. Tetapi ketahuilah sebuah istilah ilmiah tentu bisa diuji keilmiahannya. Apakah sesuai dengan kenyataan, gejala-gejala, dan fakta dilapangan (fenomena) Jika iya, maka definisi tersebut bisa diterima, jika tidak, maka definisi tersebut tidak boleh kita terima. Dalam konteks “pacaran” juga seperti itu, jika anda berasumsi bahwa ada definisi lain dari ahli psikologi yang berbeda dari yang diungkapkan oleh Reiss, kita lihat dimana perbedaannya, dan kita ukur manakah diantara kedua definisi itu yang mendekati kebenaran (lebih kuat). Jadi, asumsi juga harus menyertakan bukti. Jika tidak bisa menyertakan bukti, asumsi tersebut tidak lebih sebagai dugaan yang lemah, dan tertolak.
“3) Fenomena pacaran yang hendak kita islamisasikan ini berfokus pada Indonesia. Mengapa SPIP ikut-ikutan artikel kompas, merujuk ke buku karya orang Barat? Mengapa tidak merujuk ke definisi baku (standar) yang disusun oleh para pakar dari Indonesia? Apakah SPIP belum tahu bahwa penyusunan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) itu tidak hanya melibatkan ahli bahasa, tetapi juga melibatkan para pakar di bidangnya (termasuk sosiologi dan psikologi)?”
3 Mengenai tim penyusun KBBI, ketahuilah bahwa tim tersebut hanya terdiri dari ahli bahasa saja. Jika diperlukan untuk merujuk kepada ahli tertentu, maka dilakukan secara terpisah, semacam konsultan. Adapun kamus yang menghimpun para ahli dibidangnya, seperti ahli fisika, biologi, kedokteran, dsbnya, maka kamus seperti ini diistilahkan “Kamus Istilah”, sebagai rujukan untuk istilah-istilah ilmiah.
“4) Tingkat “keintiman” pada pacaran antara budaya Barat dan Timur (termasuk Indonesia) berbeda. Batas keakraban hubungan pacaran pada budaya Timur lebih ketat.”
4. Lebih “ketat”?? Seperti apakah yang dimaksud dengan “ketat” disini?? Satu yang pasti, Barat sudah terbiasa dengan fenomena hubungan lawan jenis pranikah semacam pacaran. Apakah barat juga memaklumi “pacaran” itu pada awalnya?? Saya pikir tidak. Karena banyaknya (orang yang dianggap sebagai) pemuka agama pada waktu itu mencari-cari pembenaran terhadap hal ini, maka yang terjadi, “pacaran” ada dimana-mana, beserta masalah sosial lain yang ditimbulkannya. Apakah ada pemuka agama diBarat yang tidak setuju dengan pacaran??, insyaAllah masih banyak, terutama dari kalangan Islam. Jangan juga diartikan bahwa “tidak setuju” disini adalah pasti dengan cara2 yang keras dan jauh dari sikap lemah lembut. Tetapi cara-cara yang lemah lembut itu jangan sampai jatuh kepada perbuatan mencari-cari pembenaran demi pembenaran.
Bagi mereka yang hidup lebih dahulu dibandingkan dengan remaja-remaja sekarang tentu mengakui bahwa gaya pacaran masa lalu lebih “sopan” dibandingkan dengan gaya masa sekarang. Itu semata-mata karena informasi tentang ‘pacaran’ itu belum terlalu banyak, hal tersebut dicontohkan oleh mereka yang berasal dari kota besar, atau melalui film-film bioskop (contoh film-film yg dibintangi Roy Mar***), selebihnya (bagi yang tinggal dikampung) nilai-nilai agama masih ‘agak’ mewarnai’. Sedangkan diera informasi seperti ini, tidak sulit menemukan ‘keintiman’ dibarat itu seperti apa. Bahkan film-film dan sinetron-sinetron indonesia pun melakukan copy paste dari produk barat untuk mengkampanyekan ‘keintiman’ yang sama. Sehingga tidak benar jika dikatakan ada yang berbeda dengan “keintiman” ditimur dan dibarat. Justru yang menjadi titik perbedaannya adalah, ketika “keintiman” itu dipahami tidak dengan kerangka syariat, maka hal seperti itulah yang akan menjadi petaka.
“5) Perilaku “saling mengakui pasangan sebagai pacar”, yang oleh SPIP diklaim sebagai yang terpenting, TIDAK mutlak berlaku pada fenomena budaya Timur walau sesuai dengan budaya Barat. Pada budaya Timur, ekspresi cinta lebih bersifat simbolis daripada terang-terangan.”
5. Apakah SPPI.. sebelum menulis tentang “pacaran ala beliau” itu juga menjelaskan perbedaan antara fenomena budaya Timur dan fenomena budaya Barat?? Tidak pernah. Jika dikatakan ‘Pada budaya Timur, ekspresi cinta lebih bersifat simbolis daripada terang-terangan’, seharusnya dijelaskan kenapa bisa berbeda?? Secara umum, manusianya sama, dari sumber yang sama, hasratnya juga sama, keinginannya juga sama, dsbnya juga sama baik yang dibarat dan ditimur. Timur dan Barat tidak menjadi sebab bahwa “watak” dan “budaya” orang-orang Timur itu berbeda dengan orang Barat. Orang Barat banyak yang tidak tahu malu, orang Timur juga banyak. Orang Barat banyak yang terbuka, orang Timur juga banyak. Jadi nilai kebenaran haruslah universal, berlaku di Barat dan di Timur. Pada konteks dunia “Pacaran”, apa yang terjadi di Barat sesungguhnya juga terjadi di Timur.
Apakah kemudian para ulama dibarat membolehkan pacaran?? Tidak. Kemudian jika melihat ke timur, katakanlah Indonesia, SPPI menduga “pacaran” itu tidak mutlak mengakui pasangan sebagai pacar, apakah dugaan ini ada buktinya?? Siapa yang berkata dan dimana kita bisa merujuknya?? Tidak ada buktinya kan. Justru faktanya adalah “Pacaran” itu harus mensyaratkan “kedua insan lain jenis” itu untuk saling mengakui sebagai pacar. Karena ngga mungkin ada yang pacaran, rela..jika pacarnya dipacari oleh orang lain??
Jadi, catatan SPPI itu sendiri penuh dengan “catatan”. Ketidakmampuan SPPI untuk memberikan bukti yang meyakinkan atas dugaan2nya tersebut, seringkali menjadikan yang bersangkutan memperlebar dan mengaburkan masalah yang sebenarnya. Sesuatu yang seharusnya dapat secara mudah kita pahami, menjadi sesuatu yang “rumit” dan kabur. Mungkin ketika orang sudah bingung dengan apa yang dibicarakan, baru kemudian diganti dengan apa yang hendak SPPI inginkan. Sehingga tidak perlulah terlalu jauh berbicara tentang “islamisasi pacaran”, jika “pacaran” itu sendiri belum dipahami dengan sebagaimana mestinya.
BAB III
PENUTUP
3.1. PENUTUP
Dalam menyajikan tugas ini yang disusun dan disajikan secara sederhana dan kurang mendetail,namun diharapkan mampu memberikan gambaran sampai sejauh mana siswa-siswi dalam belajar.
Untuk memberikan laporan Tugas yang memenuhi persyaratan dan harapan anda,tentu sulit bagi kami,namun apa yang dapat diberikan disini,semoga bisa membantu kami dalam mengikuti pembelajaran yang ada di SMKN JATIROGO
Demikian laporan tugas ini, dan apabila ada hal-hal yang kurang berkenan,dengan segala kerendahan hati kami mohon maaf yang sebesar-besarnya.